Powered By Blogger

POTRET DIRI

POTRET DIRI
SETELAH ACARA TAWAF WAJIB DI MASJID HARAM MAKKAH

Sabtu, 13 Juni 2009

Bimbingan dan Koseling di Dunia PNFI

Potensi Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling

dalam Seting Pendidikan Non Formal

By. Ir. Harris Iskandar, Ph.D

Pusat Pengembangan PNFI Regional I

Ditjen PNFI Depdiknas

UPI Bandung, 17 Januari 2009

SEMINAR NASIONAL

REPOSISI DAN REVITALISASI

PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING


1.
Berdasarkan angka rata-rata dari siswa selama 20 tahun (1986-2006) yang terdaftar, keluar, dan tidak melanjutkan sekolah sungguh merupakan tantangan bagi dunia pendidikan. Tabel di bawah ini memberikan gambaran kepada kita untuk dijadikan bahan renungan dan melakukan gerakan yang dapat memberikan solusi bagi anak bangsa.

Tabel 1

Terdaftar, Keluar, dan Tidak Melanjutkan

Kelas

Terdaftar (%)

Dropped Out dan not continuing school (%)

Keterangan

1

100%

0%

Primary School

Yang berhasil hanya 70.0%

2

92,6%

7,4%

3

89,3%

10,7%

4

84,2%

15,8%

5

79,4%

20,6%

6

73,0%

27,0%

7

48,8%

51,2%

Junior Secondary School yang berhasilnya hanya 40,8%

8

46,2%

53,8%

9

44,2%

55,8%

10

33,1%

66,9%

Senior Secondary School yang berhasil hanya 26,2%

11

31,1%

68,9%

12

29,5%

70,5%

PT

12,9%

87,1%

Pertanyaan yang mendasar bagi anak bangsa yang Dropped Out dan Not Continuing School, apakah mengikuti pendidikan kesetaraan? (Paket A, B, atau C), apakah menjadi atau ke dunia kerja? Apakah menjadi pengangguran?

Dengan keberadaan tersebut pendidikan non formal khususnya yang termasuk dalam pendidikan kesetaraan (paket A, B dan C) secara nyata sebagai penampung dari pendidikan formal yang memiliki permasalahan. Oleh karena itu, dunia pendidikan non formal memerlukan bimbingan dan konseling sehingga mereka anak bangsa yang sudah tidak memiliki harapan dapat bangkit dengan pendekatan motivasi dari layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan terhadap warga belajar.

  1. Dari hasil sensus nasional tahun 2007 didapat hanya 7% siswa miskin lulus sekolah menengah.

Betapa prihatinnya bangsa kita, hanya 7% siswa miskin lulus sekolah menengah, artinya sisa siswa miskin tersebut tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Hal ini jelas sangat ironis sekali dengan kalimat ” Pendidikan adalah hak segala bangsa”. Disinilah pendidikan non formal menjadi seperti penampungan dan hal ini pun menjadi sebuah potensi bagi pentingnya layanan bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan di dalam dunia pendidikan non formal.

  1. 3,4 juta siswa drop-out setiap tahun. ”mereka membutuhkan sebuah kesempatan kedua melalui program pendidikan yang lebih fleksibel pada non formal untuk lebih dapat dipekerjakan (Mone,2006)

Lagi-lagi dunia pendidikan non formaldalam hal ini sangat berperan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak bangsa yang 3,4 juta tersebut untuk dapat memperoleh pendidikan yang dapat memberikan layak dalam hidup dan kehidupan di masa depan mereka. Namun, hal ini tidak bisa begitu saja terjadi jelas perlu adanya pembangkit/pemotivasi/pendorong untuk mereka tidak membuat mengeluh dengan keberadaan masa lampaunya. Hal ini jelas sekali layanan bimbingan dan konseling dibutuhkan.

  1. Siswa dropout dan tidak lanjut sekolah sebanyak 3.404.510 selama tahun 2006-2007. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan tabel 2 berikut ini:

Tabel 2

Siswa Dropout dan Tidak Lanjut (2006-2007)

Jenjang

Drop-Out

Lulus tidak lanjut

Jumlah

SD

615.411 (2,37%)

665.159 (17,97%)

1.280.570

SMP

232.834 (2,88%)

723.534 (29,70%)

956.368

SMA/K

190.822 (3,48)

976.760 (56,86%)

1.167.582

Jumlah

1.039.067

2.365.443

3.404.510

Berdasarkan data tersebut pendidikan kesetaraan Paket A, B dan C menjadi faktor utama bagi anak bangsa tersebut yang dikarenakan oleh sesuatu hal menjadi drop out atau lulus tidak lanjut untuk mendapatkan pendidikan lagi. Namun, sangatlah jelas permasalahan yang dimiliki mereka sangat beragam (heterogen), maka dengan demikian layanan bimbingan dan konseling bisa hadir dalam dunia pendidikan non formal.

  1. Tingkat pendidikan penganggur terbuka:
    1. Tidak/belum pernah sekolah (0,94%)
    2. Sekolah dasar (21,77%)
    3. SMTA Umum (25,29%)
    4. Diploma (3,97%)
    5. Tidak/belum tamat SD (4,38%)
    6. SLTP (22,62%)
    7. SMTA Kejuruan (15,37%)
    8. Universitas (5,66%)

Harris Iskandar mengatakan pada pemafaran potensi-potensi penyelenggaraan Bimbingan dan Kosneling yang paling berbahaya ketika penganggurannya memiliki latar belakang pendidikan yang agak tinggi, pengangguran dengan tingkat pendidikan SD dan SMP masih sebatas melakukan hal-hal negatif yang agak rendah untuk memenuhi kebutuhannya, yang menjadi bahaya ketika penganggurannya memiliki pendidikan lebih tinggi, apa yang akan dilakukannya? Oleh karena itu dunia pendidikan non formal dengan pendidikan life skill, KBU, Kursus, dan lain-lain meruakan solusi terbaik bagi mereka. Namun, hal ini pun perlu adanya layanan bimbingan dan konseling supaya mereka dapat mengerti dan memahami apa yang terbentang di depan sana untuk di raih untuk masa depan.

Harris Iskandar menutup pemafarannya dengan mengatakan ”INDONESIA SANGAT MEMBUTUHKAN BIMBINGAN DAN KONSELING”, selanjutnya metode pembimbingannya tidak hanya menunjukkan dan mengatakan masih belum cukup – bahkan dapat berbahaya – oleh karena itu dibutuhkan ” MAGIC” (mentoring, advocacy, guidance, information, and Counseling) – [ penasehatan yang bijaksana, dukungan, bimbingan, informasi, dan konseling].